![]() |
| Foto : Sekda Provinsi NTT, Cosmas Lana |
Kupang, A1Channel.id -- Slogan "Ayo Bangun NTT", berdentang keras di dinding kantor-kantor pemerintah: Ayo Bangun NTT! Semboyan yang mengandung harapan, sekaligus ironi. Sebab dalam lorong-lorong birokrasi, semboyan itu sering kali tumbang oleh kepentingan-kepentingan kecil yang bersembunyi di balik meja Sekda dan deretan SK mutasi.
Hal ini terjadi, Seorang ASN muda, yang baru menyelesaikan studi doktoralnya dengan keringat dan perjuangan intelektual, tiba-tiba dipindahkan ke kantor yang tak pernah meminta ilmunya, apalagi menghargai perjalanan akademiknya. Lalu apa artinya belajar, jika hasilnya dibuang ke ruang arsip?
Bukan hanya kisah satu orang. Ini cermin kusam dari manajemen ASN kita yang masih gamang di persimpangan antara merit dan selera. Di hadapan UU ASN yang menjunjung sistem berbasis kompetensi dan profesionalitas, justru aparaturnya diperlakukan seperti pion yang bisa digeser tanpa makna. Mereka dimutasi bukan karena tidak kompeten, tapi karena tidak punya akses pada pusat kendali. Lalu di mana posisi ilmu dalam peta kekuasaan birokrasi kita?
Pemerintah NTT membayar pendidikan mereka dengan APBD—uang rakyat. Tapi sesudah gelar doktor diraih, mereka diparkir di lembaga yang tak pernah tahu bedanya antara policy analysis dan public archive. Ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan pemborosan anggaran dan pengkhianatan terhadap semangat pembangunan itu sendiri. ASN itu kembali dari universitas dengan semangat mengubah wajah kebijakan, tapi disambut oleh kenyataan: ilmunya dianggap terlalu rumit, terlalu kritis, terlalu membahayakan kenyamanan struktur yang sudah tenang dalam kebiasaan.
Maka muncul pertanyaan? , siapa yang sedang membangun NTT? Jika ilmunya dibungkam, jika kompetensinya dipinggirkan, kalau yang dihargai hanya loyalitas semu dan bukan prestasi—jangan-jangan kita sedang membangun istana dari pasir. Megah di luar, rapuh di dalam. Dan kalau sewaktu-waktu air pasang datang—anggaran menipis, kepercayaan publik runtuh—semua akan roboh dengan cepat, menyisakan semboyan yang tinggal gema kosong di tiang-tiang kantor.
Seseorang pernah berkata, "Jika birokrasi tidak menghargai ilmu, maka negara itu sedang mencicil kemundurannya sendiri." NTT tidak butuh seremonial, tapi strategi. Bukan hanya slogan, tapi sistem. Jika kita sungguh ingin membangun NTT, maka letakkanlah ilmu pada tempatnya yang terhormat. Bukan di rak arsip yang berdebu.(TIM)
