![]() |
Foto : Darius Beda Daton, Kepala Ombusman Provinsi NTT |
Larantuka, A1Channel.id -- 2/3/2025 "LSM Bengkel APPeK NTT dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melakukan penelitian studi kasus konflik kepentingan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Penelitian ini mengambil sampel beberapa proyek pengadaan oleh Pemerintah Provinsi NTT termasuk Flores TImur di beberapa tahun terakhir.
Darius Beda kepala Ombudsman NTT menjeaskan, Adapun temuan dalam penelitian ini pada beberapa proyek ditemukan relasi kuasa konflik kepentingan vertikal maupun horisontal antara penyedia dengan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Perihal konflik kepentingan dalam pengadaan barang jasa pemerintah selalu kita dengar. Meski demikian untuk membuktikan apakah ceritera itu benar adanya tidaklah mudah.
Mengurai relasi kuasa antara semua pihak untuk membuktikan apakah ada konflik kepentingan atau tidak dalam siklus pengadaan barang jasa bukanlah perkara mudah. Karena proses pengadaan dilaksanakan via proses tender dan seleksi berjalan by aplikasi. Secara umum modus korupsi pengadaan barang jasa pemerintah adalah pertama; Pengaturan pemenang. Pemenang sudah diatur sebelumnya antara PA/KPA dan panitia/pejabat pengadaan dengan penyedia.
Proses pengadaan hanya formalitas. Pinjam bendera perusahaan lain. Yang punya bendera bukan pelaksana proyek tetapi hanya mendapatkan fee atas kesepakatan bersama, Pemenang yang menandatangani kontrak tetapi pekerjaan di sub kontrak kepada pihak lain. Suap atau pemberiaan komitmen fee oleh penyedia dengan besaran yang disepakati bersama kepada KPA, ketua panitia dan pejabat lelang.
Pekerjaan tidak sesuai spesifikasi teknis. PPK tidak mengecek harga pasar untuk melakukan review Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Harga Perkiraan Sendiri di mark up mendekati harga penawaran.Pengadaan fiktif dan tidak sesuai kebutuhan, demikian juga persekongkolan antara penyedia pekerjaan belum mencapai target fisik namun pembayaran melebihi progres dari pekerjaan.
Untuk itu beberapa upaya pencegahan mesti terus-menerus dilakukan guna meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang jasa pemerintah antara lain, peningkatan kualitas SDM pejabat pengadaan barang jasa. Meningkatkan peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) guna melakukan pendampingan maupun pengawasan pelaksanaan. Hal ini bisa dilakukan dengan permohonan PPK kepada inspektorat untuk melakukan probity audit sebagai mitigasi resiko mulai dari perencanaan.
Perlu adanya Pendampingan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP). Penerimaan komisi atau fee dari pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) mesti tercatat sebagai lain-lain PAD yang sah. Hal ini diatur jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 31 ayat (4) huruf h Peraturan Pemerintah ini menyatakan; “Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah adalah penerimaan komisi, potongan, atau bentuk lain sebagai akibat penjualan, tukar menukar, hibah, asuransi, dan atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan uang pada bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atau dari kegiatan lainnya.
Jika selama ini pendapatan dari sumber komisi atau fee semua proyek yang telah dilaksanakan belum atau tidak tercatat atau fee/komisi tersebut diberikan namun tidak disetor sebagai pendapatan daerah alias masuk ke kantong-kantong pribadi maka soal komitmen fee proyek tersebut sudah saatnya perlu diatur agar disetor ke kas daerah guna dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah tutup Darius.*Rm